Timun Mas dan Buto Ijo
Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang wanita tua bernama Mbok Sarni yang sangat merindukan seorang anak. Setiap hari, dia berdoa dan berharap bahwa suatu hari akan dikaruniai anak, meskipun usianya sudah tua dan harapan itu seperti daun yang terhembus angin—kadang terbang tinggi, kadang jatuh di tanah. Suatu hari, ketika ia sedang berjalan di hutan, dia bertemu dengan Buto Ijo, seorang raksasa yang tampak seperti gunung hidup dengan tangan sebesar pohon dan langkah yang mengguncang bumi. “Aku bisa memberimu anak, Mbok Sarni,” kata Buto Ijo dengan suara seperti petir.
Mbok Sarni terperanjat dan takut, tetapi keinginannya begitu besar hingga ia tak bisa menolak. “Bagaimana caranya, Buto Ijo?” tanyanya dengan suara yang bergetar seperti daun di bawah hembusan angin. Raksasa itu memberikannya sebuah biji timun, berwarna keemasan seperti matahari tenggelam di ufuk barat. “Tanamlah biji ini,” kata Buto Ijo, “tapi ingat, ketika anak itu beranjak dewasa, kau harus menyerahkannya padaku untuk kujadikan santapan.”
Mbok Sarni pulang dan menanam biji itu dengan hati penuh harap dan kecemasan yang terus merayap. Biji itu tumbuh dengan ajaib menjadi buah timun yang besar dan ketika buah itu dibuka, di dalamnya ada seorang bayi perempuan yang cantik. Mbok Sarni menamainya Timun Mas, karena kulitnya yang halus dan bersinar seperti emas.
Timun Mas tumbuh besar, lincah, dan cerdas. Namun, ketakutan Mbok Sarni semakin besar seiring berjalannya waktu. Hari demi hari berlalu seperti hembusan angin yang membawa kegelisahan di hatinya. Ketika Timun Mas semakin dewasa, Buto Ijo datang menagih janji. Timun Mas melihatnya sebagai sosok gelap yang membawa bayang-bayang ketakutan, seperti malam yang datang menelan cahaya siang.
Namun, Mbok Sarni yang putus asa mencari jalan keluar. Dia memberi Timun Mas sebuah kendi ajaib berisi empat benda: biji timun, jarum, garam, dan terasi, dan berkata, “Gunakan ini, anakku, untuk menyelamatkan dirimu.”
Ketika Buto Ijo mulai mengejarnya, Timun Mas berlari secepat angin. Ia melempar biji timun, yang segera tumbuh menjadi ladang penuh sulur yang berduri. Buto Ijo dengan geram menerjangnya, tetapi sulur-sulur itu merintangi langkahnya seperti tali yang membelenggu kaki gunung yang berusaha bebas.
Tidak menyerah, Timun Mas lalu melemparkan jarum, yang berubah menjadi hutan bambu yang tajam seperti pedang. Hutan itu menusuk kaki Buto Ijo, namun raksasa itu menerobos dengan kemarahan yang membara, seolah-olah tak peduli pada luka-lukanya.
Melihat raksasa itu semakin mendekat, Timun Mas segera melemparkan garam yang berubah menjadi lautan luas, mengalir deras seperti sungai tak berujung. Buto Ijo yang marah mencoba berenang, tapi ombak seperti tangan-tangan air yang menahannya.
Akhirnya, Timun Mas melempar terasi. Benda itu berubah menjadi lumpur mendidih yang mendidih seperti kemarahan tersembunyi yang meluap. Buto Ijo terperangkap dan tenggelam dalam lumpur panas itu, berteriak seperti badai yang kehilangan kekuatan.
Dengan perasaan lega, Timun Mas kembali ke pelukan Mbok Sarni, yang menyambutnya dengan air mata kebahagiaan. Buto Ijo, si raksasa yang ditakuti, tak akan kembali lagi. Ketenangan pun kembali seperti mentari pagi yang hangat, menyinari seluruh desa dengan kedamaian.