Legenda Selat Bali
Pada zaman dahulu di Kerajaan Daha, sebuah kerajaan besar di Kediri, hidup seorang Brahmana sakti bernama Empu Sidi Mantra. Beliau adalah pemuka agama yang dihormati, terkenal karena kebijaksanaan dan kesaktiannya. Ia dikenal selalu menolong orang-orang yang membutuhkan. Rumahnya sederhana tetapi damai, dikelilingi oleh aura ketenangan, kesejahteraan, dan kearifan.Empu Sidi Mantra memiliki seorang putra bernama Manik Angkeran, seorang pemuda yang tampan dan penuh potensi, tetapi cenderung sulit diatur. Berbeda dengan ayahnya, Manik memiliki sifat keras kepala dan kecenderungan hidup mewah. Ketertarikannya pada harta dan kemewahan sering kali mengalahkan akhlaknya, membuatnya jatuh dalam kebiasaan buruk, terutama berjudi. Tak jarang, kekalahan dalam judi membawa Manik ke dalam hutang yang menumpuk, dan setiap kali ia meminta bantuan ayahnya untuk menutup hutang-hutangnya.
Desakan untuk Kaya dan Pertemuan dengan Naga Besukih
Melihat bahwa kekayaannya habis karena kebiasaan buruk Manik, Empu Sidi Mantra merasa cemas akan masa depan putranya. Suatu hari, Manik mendengar cerita tentang Gunung Agung di Bali, di mana seekor naga sakti, Naga Besukih, menjaga harta karun yang tidak ternilai. Ambisi dan harapan memperbaiki kehidupannya membuat Manik memutuskan untuk pergi ke Bali, walau ayahnya telah memperingatkan bahwa kesaktian dan kekayaan tidak bisa diraih dengan jalan yang tidak benar.
Di kaki Gunung Agung, Manik Angkeran melakukan ritual khusus dan memanggil Naga Besukih. Dengan doa dan permohonan, Manik memohon agar sang naga memberikannya sedikit kekayaan. Naga Besukih, yang memiliki kekuatan magis, muncul dari dalam bumi dengan tubuh bersinar karena sisik-sisik emas yang menghiasi tubuhnya. Naga ini memahami keinginan Manik, namun meminta satu syarat: bahwa Manik harus selalu menghormati perjanjian dan menjaga kepercayaan yang telah diberikan.
Pengkhianatan yang Membawa Kehancuran
Awalnya, Manik Angkeran merasa puas menerima beberapa permata dan emas yang diberikan oleh Naga Besukih. Tetapi, serakah mulai mengambil alih hatinya, dan dalam keheningan malam, ia diam-diam mendekati naga tersebut. Melihat ekor naga yang dipenuhi dengan permata berharga, Manik merasa tergoda untuk mengambil lebih banyak. Dengan cepat dan penuh nafsu, ia memotong ekor naga dan berlari membawa permata tersebut.
Tindakan ini sangat mengecewakan Naga Besukih, yang merasa dikhianati dan marah besar. Naga itu mengeluarkan api yang membakar Manik hingga tewas seketika. Ini adalah hukuman atas pengkhianatan yang telah dilakukan Manik. Naga Besukih kembali ke sarangnya, meninggalkan sisa-sisa Manik di lereng Gunung Agung.
Pengorbanan dan Kekuatan Cinta Seorang Ayah
Ketika kabar kematian putranya sampai kepada Empu Sidi Mantra, sang brahmana berusaha menerima kenyataan pahit ini. Namun, cintanya kepada Manik tidak tergantikan oleh kemarahan atau kekecewaan. Dengan hati yang berat, ia berangkat menuju Gunung Agung, melakukan ritual pemanggilan untuk menemui Naga Besukih.
Setelah bertemu, Empu Sidi Mantra memohon kepada naga tersebut agar menghidupkan kembali putranya. Ia berjanji akan membimbing Manik menuju jalan yang benar. Karena melihat ketulusan hati sang brahmana, Naga Besukih mengabulkan permintaan itu dan membangkitkan Manik Angkeran. Namun, naga tersebut memperingatkan bahwa ini adalah kesempatan terakhir bagi Manik untuk memperbaiki dirinya.
Pemisahan Bali dan Jawa: Garis Batas yang Abadi
Setelah peristiwa itu, Empu Sidi Mantra menyadari bahwa dirinya harus mengambil langkah tegas. Ia menasihati Manik untuk berhenti dari segala kebiasaan buruknya dan memulai hidup baru. Namun, ia menyadari bahwa kasih sayang seorang ayah saja tidak cukup untuk menghentikan nafsu buruk yang selalu menguasai Manik. Karena itu, ia memutuskan bahwa jarak harus menjadi penghalang antara dirinya dan Manik.
Dengan penuh kesaktian, Empu Sidi Mantra mengambil tongkatnya dan menarik garis di tanah yang menjadi batas antara dirinya dan putranya. Ketika garis itu tergambar, air mengalir deras, memisahkan daratan di antara mereka. Garis ini semakin lama semakin melebar hingga menjadi selat yang kini dikenal sebagai Selat Bali, memisahkan Pulau Bali dan Pulau Jawa selamanya.
Pesan Moral dan Makna Mendalam dari Legenda Ini
Legenda ini menyampaikan nilai-nilai penting dalam kehidupan, terutama tentang kesetiaan, pengendalian diri, dan batas kasih sayang. Kisah ini menunjukkan bahwa kasih sayang orang tua memiliki batas ketika anak terus menerus mengabaikan nasihat dan memilih jalan yang salah. Bagi Empu Sidi Mantra, tindakan tegas tersebut adalah bentuk pengorbanan demi kebaikan Manik sendiri.
Bagi kita, legenda ini mengajarkan bahwa keserakahan dan pengkhianatan hanya membawa pada kehancuran, serta pentingnya menepati janji dan menjaga kepercayaan orang lain. Di sisi lain, ini juga mengajarkan kita tentang batasan antara kasih sayang dan disiplin, serta bagaimana suatu tindakan yang bijak dapat menjaga keseimbangan dalam kehidupan.